Persepsi Atas Energi: Apresiasi Terhadap Keindahan

Manuskrip mengatakan bahwa persepsi manusia atas energi murni ini untuk pertama kali diawali dengan meningkatnya kepekaan terhadap keindahan. Apresiasi terhadap keindahan merupakan semacam barometer yang menunjukkan kepada kita seberapa dekat kita sebenarnya dengan pencerapan energi (proses bagaimana manusia menangkap atau menyerap energi yang ada di sekelilingnya melalui indera yang dimilikinya). Segera setelah kita mengamati energi ini, kita menyadari energi berada dalam satu kesatuan dengan keindahan.

Energi dapat dilihat dengan mata telanjang. Tetapi hal pertama yang mesti dikembangkan ialah apresiasi yang lebih mendalam terhadap keindahan. Bagaimana caranya, bukankah keindahan itu relatif sifatnya?

Cobalah untuk berpikir seperti ini : benda-benda yang kita persepsikan indah mungkin berbeda, tetapi ciri khas aktual yang kita akui ada pada benda-benda indah tersebut adalah sama. Bila sesuatu tampak indah di mata kita, ia lebih menunjukkan kehadiran, ketajaman bentuk, dan kecerahan warna. Ia mencuat, bersinar, dan tampak hampir seperti pelangi berwarna-warni dibandingkan dengan kepudaran benda-benda lain yang kurang menarik. Warna-warna dan bentuk-bentuk tersebut tampak seperti telah mengalami pemuliaan.

Tingkat berikutnya ialah melihat suatu medan energi melayang-layang di sekitar semua benda.

Transformasi Pemahaman Tentang Semesta Dunia Fisik

WAWASAN KETIGA menggambarkan pemahaman baru atas dunia fisik, pemahaman yang sudah mengalami transformasi mengenai alam semesta. Ia mengatakan manusia akan belajar menyerap apa yang dulu merupakan energi yang tak terlihat, menganggap energi tersebut nyata. Wawasan Ketiga meramalkan bahwa manusia akan menemukan energi baru yang membentuk dasar semua benda dan dipancarkan dari semua benda itu, termasuk dirinya sendiri.

Namun untuk memahaminya lebih lanjut, sebelumnya kita mesti memahami Wawasan Kedua.

Setelah runtuhnya pandangan abad pertengahan tentang dunia, kita tiba-tiba menjadi sadar bahwa kita telah hidup di dalam sebuah alam semesta yang sama sekali tidak kita kenali. Dalam upaya memahami hakikat alam semesta ini, kita harus memisahkan fakta dari tahayul. Pada kenyataannya, sikap skeptisisme ilmiah para ilmuwan menuntut bukti kokoh untuk setiap pernyataan tentang bagaimana dunia bekerja. Sebelum kita mempercayai sesuatu, kita menginginkan bukti yang dapat dilihat dan dipegang dengan tangan. Setiap ide yang tidak dapat dibuktikan secara fisik, ditolak secara sistematis.

Sikap ini memberi pemahaman yang baik kepada kita sehubungan dengan gejala alam yang jelas terlihat, dengan objek-objek seperti batu, tubuh, dan pohon, objek yang dapat dipersepsikan oleh siapa pun tak peduli betapa skeptisnya mereka. Dengan cepat kita keluar dan menamai setiap bagian dari dunia fisik, sambil mencoba menemukan mengapa alam semesta beroperasi dengan cara seperti yang terjadi. Akhirnya kita menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam terjadi sesuai dengan hukum alam, bahwa masing-masing kejadian mempunyai penyebab jasmaniah yang langsung dan dapat dipahami. Gagasan yang ingin disampaikan ialah menciptakan suatu pemahaman atas alam semesta yang membuat dunia tampak aman dan bisa dikelola, dan sikap skeptis membuat kita tetap terfokus kepada problema konkrit yang akan membuat eksistensi kita tampak lebih aman.

Dengan sikap ini pula, ilmu secara sistematis menyingkirkan apa yang tidak pasti dan yang esoteris dari dunia. Para ilmuwan menyimpulkan, mengikuti gagasan Isaac Newton, bahwa alam semesta selalu beroperasi dengan cara yang dapat diramalkan, seperti sebuah mesin raksasa, sebab untuk jangka waktu lama cuma itu yang bisa dibuktikan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi secara bersamaan dengan peristiwa-peristiwa lain namun tidak mempunyai hubungan kausal, dikatakan terjadi hanya secara kebetulan.

Kemudian dua penemuan besar paling berpengaruh kembali membuka mata dunia tentang misteri alam semesta, yaitu penemuan mekanika kuantum dan penemuan relativitas Albert Einstein.

Seluruh karya hidup Einstein adalah untuk menunjukkan bahwa apa yang kita persepsikan sebagai benda keras kebanyakan merupakan ruang kosong dengan suatu pola energi yang melintasinya. Ini mencakup diri kita.

Fisika kuantum menunjukkan bahwa bila kita mengamati pola-pola energi ini pada tingkat yang makin kecil, dapat dilihat akibat yang mengejutkan. Berbagai percobaan telah mengungkapkan bahwa bila kita memisahkan aspek-aspek kecil ini, yang disebut sebagai partikel elementer, dan kita coba mengamati bagaimana mereka beroperasi, kegiatan observasi itu sendiri mengubah hasilnya—seolah partikel-partikel elementer itu terpengaruh oleh apa yang diharapkan oleh orang yang melakukan eksperimen. Hal ini benar, bahkan meskipun partikel-partikel itu harus tampak di tempat-tempat mereka tak mungkin berada, mengingat adanya hukum-hukum alam semesta yang kita kenal : dua tempat pada saat yang sama, maju atau mundur dalam waktu yang sama, atau hal-hal lainnya yang semacam itu.

Dengan kata lain, bahan dasar alam semesta pada intinya tampak seperti semacam energi murni yang dapat dibentuk sesuai dengan maksud dan harapan manusia melalui suatu cara yang menantang model lama alam semesta yang mekanistik—seakan-akan harapan kita sendiri keluar ke dalam dunia dan mempengaruhi sistem-sistem energi lain.

Makna Yang Lebih Dalam Dari Sebuah Pertemuan

Manuskrip Celestine seluruhnya terdiri atas sembilan wawasan. Setiap wawasan saling berkaitan dengan yang lainnya. Untuk bisa mengerti keseluruhan wawasan, kita harus memahaminya secara bertahap dari awal, Wawasan Pertama, satu per satu hingga wawasan yang terakhir. Ini dikarenakan wawasan awal menjadi fondasi untuk memahami wawasan selanjutnya.

Nah, sisa dari wawasan-wawasan mewakili jawaban yang akhirnya datang kembali. Tapi mereka tidak hanya berasal dari ilmu pengetahuan kelembagaan. Jawaban yang dimaksud adalah yang berasal dari berbagai bidang penyelidikan. Temuan fisika, psikologi, mistisisme, dan agama, semua datang bersama-sama ke dalam sebuah sintesis yang baru berdasarkan persepsi dari peristiwa-peristiwa kebetulan. Kita kembali belajar tentang detail dari apa arti dari peristiwa-peristiwa kebetulan, bagaimana mereka bekerja, dan seperti yang kita lakukan, kita kembali membangun keseluruhan pandangan hidup yang baru, wawasan demi wawasan.

Namun kembali lagi, bahwa keseluruhan wawasan tidak bekerja untuk didengarkan seluruhnya sekaligus. Anda harus menemukan wawasan-wawasan tersebut masing-masing dengan cara yang berbeda. Anda mungkin memiliki informasi tentang masing-masing wawasan, walaupun Anda tidak memiliki atau bahkan belum pernah mempelajarinya sekalipun. Anda harus menemukan mereka dalam perjalanan hidup Anda sendiri.

Jika seseorang dapat terhubungkan dan membangun energi yang cukup, maka peristiwa-peristiwa kebetulan mulai terjadi secara konsisten. Bagaimana melakukan hal itu? Bagaimana menjadi terhubungkan adalah tidak hanya dengan satu wawasan, tetapi kesemuanya. Ingat dalam Wawasan Kedua ini di mana dijelaskan bagaimana para penjelajah akan dikirim keluar dari dunia menggunakan metode ilmiah untuk menemukan makna hidup manusia di planet ini? Tapi mereka tidak akan kembali segera, bukan?

Kini apakah Anda memahami bahwa kesempatan bertemu seringkali memiliki makna yang lebih dalam? Hal tersebut tampak seperti seluruh perjalanan ini telah menjadi satu peristiwa kebetulan yang menyusul peristiwa kebetulan yang telah terjadi sebelumnya. Ini mulai terjadi segera setelah Anda menjadi waspada dan terhubungkan dengan energi. Tentang yang satu akan dijelaskan lebih lanjut dalam Wawasan Ketiga.

Memahami Kebudayaan Dari Perspektif Satu Milenium Penuh

Bagaimana agar kita benar-benar memahami kebudayaan seperti judul di atas?

Bayangkan diri Anda menjadi hidup di tahun 1000, yaitu pada Abad Pertengahan. Visualisasikan bahwa Anda menemukan diri Anda sendiri di jaman nenek moyang Anda, terlepas dari apa tingkat strata sosialnya—petani atau bangsawan?—atau pekerjaan tertentu yang Anda lakukan waktu itu. Ketika itu di dunia barat, gereja Kristen masih sangat berkuasa.

Baca juga: Meninjau Kebudayaan Dari Perspektif Satu Milenium Penuh

Waktu itu, oleh para imam, dunia digambarkan secara nyata bersifat spritual di atas segalanya. Mereka menciptakan sebuah realitas yang menempatkan ide mereka tentang rencana Tuhan bagi umat manusia berada tepat di pusat kehidupan. Para rohaniawan gereja menjelaskan bahwa Allah telah menempatkan umat manusia di pusat semesta-Nya dikelilingi oleh seluruh kosmos, untuk satu-satunya tujuan: memperoleh atau kehilangan keselamatan, artinya dalam ujian ini harus secara benar memilih antara dua kekuatan yang bertentangan: kekuatan Tuhan atau godaan setan yang mengintai. Tetapi pahamilah bahwa Anda tidak sendirian menghadapi ujian ini.

Sesungguhnya, sebagai seorang individu semata Anda tidak memenuhi syarat untuk menentukan status Anda dalam hal ini. Ini adalah wewenang gereja. Mereka ada untuk menafsirkan kitab suci dan memberitahu Anda setiap langkah apakah Anda sesuai dengan Tuhan atau apakah Anda sedang ditipu oleh setan. Jika Anda mengikuti instruksi mereka, surga adalah imbalannya. Tapi jika Anda tidak memperhatikan instruksi mereka meresepkan, akan ada hukuman tertentu dan kutukan. Para imam gereja ini menganggap diri mereka sebagai satu-satunya penghubung antara Anda dan Tuhan, satu-satunya penafsir kitab suci, satu-satunya wasit keselamatan Anda.

Semua fenomena kehidupan—dari badai atau gempa bumi yang terjadi secara kebetulan sampai keberhasilan panen atau kematian orang yang dicintai—didefinisikan sebagai kehendak Tuhan atau sebagai kedengkian setan. Tak ada konsep cuaca atau kekuatan geologi atau hortikultura atau penyakit. Itu semua datang belakangan. Untuk saat itu, Anda benar-benar hanya percaya pada kaum imam; dunia yang Anda terima sebagai sesuatu yang sudah semestinya beroperasi semata-mata dengan sarana-sarana rohani.

Selanjutnya pandangan dunia Abad Pertengahan mulai berantakan pada abad ke-14 dan ke-15. Pertama, Anda melihat kejanggalan-kejanggalan tertentu pada beberapa imam-imam gereja itu sendiri: diam-diam melanggar sumpah kesucian mereka, misalnya, menerima bayaran untuk berpura-pura tidak melihat ketika pejabat pemerintah melanggar hukum Alkitabiah.

Kemudian Anda berada di tengah-tengah pemberontakan sebuah kelompok yang dipimpin oleh Martin Luther melepaskan diri sama sekali dari kekristenan di bawah kepausan. Mereka menuduh kaum imam korup seraya menuntut diakhirinya kekuasaan kaum imam atas pikiran khalayak ramai. Gereja-gereja baru dibentuk berdasarkan pada gagasan bahwa setiap orang seharusnya memiliki akses dengan Kitab Suci secara langsung dan pribadi serta menafsirkannya sesuai yang mereka inginkan, tanpa perantara.

Pemberontakan itu berhasil. Para imam gereja mulai tergeser. Konsensus jelas tentang hakikat alam semesta dan tujuan hidup umat manusia di sini, seperti yang didasarkan pada deskripsi gereja, runtuh. Akibatnya, seluruh dunia menjadi mempertanyakan tentang tujuan hidup mereka. Manusia seperti kehilangan arah.

Pada tahun 1600-an, para astronom telah membuktikan tanpa keraguan bahwa matahari dan bintang tidak berputar mengelilingi bumi sebagaimana pandangan yang dipertahankan oleh gereja. Jelas bahwa Bumi hanya satu planet kecil yang mengorbit matahari kecil/minor dalam sebuah galaksi yang berisi miliaran bintang.

Ini penting. Manusia telah kehilangan tempatnya di pusat alam semesta Tuhan. Apa efeknya? Sekarang, ketika Anda mengamati cuaca, atau tanaman yang tumbuh, atau seseorang tiba-tiba mati, apa yang Anda rasakan adalah bingung dan gelisah. Di masa lalu, Anda mungkin telah mengatakan bahwa Allah atau setan yang bertanggung jawab. Tetapi ketika dunia abad pertengahan runtuh, kepastian itu pun ikut gugur bersamanya. Semua hal yang dulunya Anda terima begitu saja, sekarang perlu definisi baru, terutama mengenai sifat Tuhan dan hubungan Anda dengan Allah.

Dengan kesadaran itu, Zaman Modern dimulai. Ada semangat demokrasi tumbuh dan ketidakpercayaan massa terhadap otoritas kepausan dan kerajaan. Definisi alam semesta berdasarkan spekulasi atau iman alkitabiah tidak lagi secara otomatis diterima. Kendati kehilangan kepastian, kita tidak ingin mengambil risiko untuk tunduk kepada kelompok baru yang mengendalikan realitas kita seperti yang para rohaniwan pernah lakukan. Mandat baru untuk ilmu pengetahuan pun terbentuk.

Para pemikir zaman itu mulai memandang ke luar alam semesta yang luas tanpa batas dan berpikir bahwa kita perlu metode pembentuk kesepakatan, cara untuk secara sistematis menjelajahi dunia baru kita. Dan Anda akan menyebut cara baru menemukan realitas tersebut sebagai metode ilmiah, yang tidak lebih dari pengujian ide tentang cara kerja alam semesta, sampai pada kesimpulan tertentu, dan kemudian menawarkan kesimpulan ini kepada orang lain untuk melihat apakah mereka setuju.

Lalu kita, manusia, menyiapkan para penjelajah untuk keluar ke alam semesta baru ini, masing-masing bersenjatakan metode ilmiah dan mereka diberikan misi bersejarah : Jelajahi tempat ini, temukan cara kerjanya, dan cari tahu untuk apa kita hidup di dunia ini.

Manusia telah kehilangan kepastian tentang alam semesta yang diperintah Tuhan dan karena itu kepastian kita tentang hakikat Tuhan sendiri. Tetapi kita merasa mempunyai metode, proses pembentukan kesepakatan untuk menemukan hakikat segala sesuatu di sekitar kita, termasuk Tuhan serta tujuan sejati eksistensi umat manusia di planet ini. Jadi, kita mengirimkan para penjelajah ini untuk menemukan hakikat sejati situasi kita sendiri.

Menurut Manuskrip, pada titik ini kita memulai obsesi, dan dari obsesi inilah kita mengalami kebangkitan. Kita mengirim para penjelajah ini untuk membawa kembali penjelasan lengkap tentang eksistensi kita—membawa situasi spritual kita yang sebenarnya—tetapi  kerumitan  alam semesta menyebabkan mereka tidak mampu segera kembali.

Kebelumberhasilan tersebut mempengaruhi kebudayaan secara mendalam. Kita perlu sesuatu lain sampai pertanyaan-pertanyaan kita terjawab. Akhirnya kita sampai pada apa yang tampak sebagai pemecahan yang sangat logis. Karena penjelajah belum kembali membawa spiritual kita yang sebenarnya, kita mulai mendekatkan diri dengan dunia baru ini sementara kita menunggu. Kita belajar mengotak-atik dunia ini untuk keuntungan kita sendiri, untuk meningkatkan standar hidup, dan rasa keamanan kita di dunia. Kita bebaskan perasaan hilang arah dengan menangani sendiri persoalan yang kita hadapi dengan memusatkan perhatian atas upaya menaklukkan Bumi dan menggunakan sumber dayanya untuk memperbaiki cara hidup kita—dan hanya sekarang—ketika mendekati akhir milenium kita dapat melihat apa yang terjadi.

Bekerja untuk membangun cara hidup yang lebih menyenangkan telah membuat kita merasa lebih lengkap luar-dalam, menjadikan hidup kita tergantung pada materi. Materi telah menjadi alasan untuk hidup. Dan setahap demi setahap, secara metodologis, kita telah melupakan pertanyaan semula. Kita lupa bahwa kita masih belum tahu untuk apa kita bertahan hidup.

Yang menjadi persoalan ialah kita yang terfokus dan obsesif untuk menaklukkan alam dan membuat kita sendiri lebih nyaman ini telah menyebabkan sistem alamiah planet ini tercemar dan berada di ambang kehancuran. Kita tak bisa meneruskan cara ini.

Obsesi ini, menurut Manuskrip, sesungguhnya merupakan suatu perkembangan yang diperlukan, suatu tahap dalam evolusi manusia. Hanya saja kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mendekatkan diri dengan dunia. Kini tiba waktunya untuk sadar dan bangun dari obsesi ini dan mempertimbangkan lagi pertanyaan semula. Apa yang ada di balik kehidupan di planet ini? Mengapa kita berada di situ?

Meninjau Kebudayaan Dari Perspektif Satu Milenium Penuh

Wawasan Kedua menempatkan kesadaran kita yang sekarang ini ke dalam perspektif historis yang lebih panjang. Wawasan ini menunjukkan bagaimana meninjau kebudayaan bukan semata-mata dari perspektif masa hidup kita sendiri melainkan dari perspektif satu milenium yang utuh. Ia membukakan mata kita tentang apa yang menjadi obsesi bagi kita dan dengan begitu mengangkat kita di atasnya, dan kita baru saja mengalaminya. Kini kita hidup di dalam suatu kekinian yang panjang. Bila kita mengamati dunia manusia sekarang ini, kita seyogyanya dapat melihat dengan jelas sifat obsesif ini, keasyikan intens dengan kemajuan ekonomi.

Lebih jelasnya begini : bila dekade sembilan puluhan telah lewat, kita tidak hanya akan menyelesaikan abad ke-20 melainkan periode seribu tahun pula. Kita akan merampungkan seluruh milenium kedua. Sebelum kita memahami di mana kita berada dan apa yang akan terjadi berikutnya, kita harus memahami apa yang sebetulnya telah terjadi selama periode seribu tahun ini.

Tepatnya dalam Wawasan Kedua dipaparkan bahwa pada penutupan milenium kedua, kita akan dapat melihat periode sejarah secara keseluruhan dan kita akan mengenali obsesi khusus yang berkembang selama separuh akhir milenium ini, mengenai apa yang disebut Abad Modern. Kesadaran kita mengenai peristiwa-peristiwa serba kebetulan dewasa ini mewakili semacam kebangkitan dari obsesi ini.

Untuk memahami sejarah, kita harus menangkap bagaimana perkembangan pandangan keseharian kita tentang dunia, bagaimana pandangan itu tercipta oleh realita orang-orang yang telah hidup sebelum kita. Dibutuhkan seribu tahun untuk mengembangkan cara modern memandang berbagai hal, dan untuk memahami di mana kita berada hari ini. Kita harus membawa diri kembali ke tahun 1000 dan kemudian bergerak maju melewati seluruh milenium ini, seolah kita sendiri betul-betul hidup melintasi seluruh periode itu di dalam hidup yang sekali saja ini.